Sejak beberapa bulan terakhir, di beberapa sudut unit operasional PTPN I Regional 7, baik di Lampung, Sumsel, maupun di Bengkulu terpampang satu plang berbahan vinil bertulis; “Berubah atau Punah”. Tulisan besar dengan dua kata utama itu lugas, tegas, dan berisi. Tak pelak, beberapa pejabat yang bertamu atau sekadar melintas pun berkomentar kagum. Bahkan, seorang petinggi perusahaan memuji kalimat singkat ini di forum besar.
Menarik untuk membahas makna dari kata-kata tersebut, terlebih jika menyandingkan dengan beberapa peristiwa empirik Bangsa Indonesia. Kalimat padat itu seirama dan sepadan dengan heroika para pejuang kemerdekaan bangsa yang amat kita kenal “Merdeka atau Mati!”. Ada juga dua kalimat kontradiktif dalam Bahasa Inggris yang kita kenal, yakni “Now or Never”, sekarang atau tidak sama sekali.
Kalimat “Merdeka atau Mati!” lahir ketika para pejuang kemerdekaan Bangsa sedang menyuntikan nilai heroik nasionalisme untuk berani melawan. Dalam konteks masa, tentu saja slogan itu lahir karena Bangsa Indonesia sedang dalam keadaan terjajah. Kalau meminjam istilah populer saat ini, “dalam keadaan tidak baik-baik saja.”
Menilik makna yang tersirat dalam slogan “Berubah atau Punah” yang sedang trending di PTPN I Regional 7, tak sulitlah menebak bahwa slogan ini lahir karena kita sedang “tidak baik-baik saja”. Mungkin asumsi ini ditolak oleh sebagian orang, tetapi sulit untuk menolak bahwa slogan sekeras itu muncul pada masa-masa bahagia.
Lalu, apakah kemunculan slogan yang menyiratkan makna “sedang tidak baik-baik saja” ini tidak baik bagi perusahaan? Bagi penulis, ini adalah revolasi mental dan moral bagi kita untuk melakukan perubahan sebagaimana yang sedang digencarkan oleh pemegang saham perusahaan ini. Yakni, PTPN III Holding yang sedang melakukan transformasi bisnis fundamental dengan berbagai aksi korporasinya.
*
Sebagai slogan, “Berubah atau Punah” adalah terapi kejut yang berdaya ledak tinggi. Orang ataupun sistem yang berani menggunakan metode ini pada umumnya adalah yang mengetahui kondisi dalam organ “tubuhnya” secara detail dan komprehensif. Seperti orang yang kena stroke, dia berani mempertaruhkan tubuhnya “disetrum” dengan tegangan listrik demi bisa sehat kembali. Tentu, sang penekan tombol saklarnya adalah orang yang memiliki kompetensi, pengalaman, dan perhitungan yang terukur.
Sebagaimana Bung Tomo ketika meneriakkan “Merdeka atau Mati!” pun sudah melakukan riset tentang metode atau terapi apa yang pas untuk menggerakkan rakyat Surabaya melawan Inggris, saya kira demikian pula dengan para petinggi PTPN I Regional 7. Mereka telah memiliki mitigasi fisik dan psikis tentang efektivitas dan risiko ketika slogan itu diluncurkan.
Dari sisi makna, pemakaian kata keras untuk suatu slogan memang banyak dihindari. Umumnya, suatu entitas maupun program menggunakan kalimat indah, lembut, elegan, dan prospektif sebagai slogan. “Melayani dengan hati, bersama kita bisa, untuk masa depan yang lebih baik, karena kita harus bersama…” dan kalimat lainnya adalah lazimnya slogan. Ketika slogan yang dicanangkan begitu keras, itu tentu penuh dengan makna.
Namun demikian, saya sepakat dengan penggunaan slogan itu. Atau, kalau kalimat “Berubah atau Punah” itu menolak disebut sebagai slogan, akan lebih tepat dimaknakan sebagai ancaman. Memang terasa lebih ngeri secara bahasa, tetapi dramanya akan lebih pas untuk berhadap-hadapan alias head to head sebagai respons-nya.
Lalu, siapa yang mengancam, diancam, dan yang terancam? Mohon maaf, analisis soal slogan yang berubah menjadi ancaman ini bukan soal peta dan pemetaan jabatan. Ini adalah autokritik komunal pada suatu entitas yang saya secara pribadi menjadi bagiannya. Oleh karena itu, tak ada tendensi untuk memetakan siapa (secara individu) maupun mengapa (secara komunal) yang harus bertanggung jawab atas kondisi ini, tetapi lebih kepada bagaimana kita menyikapi keadaan.
Namun, jika terpaksa kita harus menguliti dan “menuduh” tentang siapa yang menebar ancaman ini, maka jawabannya adalah “Si Era”. Era atau bisa juga kita sebut dengan zaman adalah pihak yang paling mengancam kita, PTPN I Regional 7, jika tidak berubah. Ia akan merangsek masuk ke sistem, merasuki setiap sendi dan sumsum tulang belakang semua elemen dalam perusahaan, yang kemudian menebarkan virus yang mematikan. Kita akan dimusnahkan alias punah oleh era atau oleh fenomena zaman yang sedemikian cepat berubah.
Mengkritisi kata “ancaman” sebagai kata kerja destruksi memang terasa naif jika tidak menyebut subjeknya dengan jelas. Apalagi jika kemudian menyebut “pelaku” pengancaman adalah era atau zaman, maka akan muncul pertanyaan “siapa itu era dan zaman?”
Oleh Andi Aktivis Jaringan Rakyat